TARI TOPENG CIREBON, WARISAN SENI YANG PENUH MAGIS DAN MISTERIUS

Konon, bagi mereka yang serius memperhatikan,  ada hal-hal misterius yang terasa ketika tari ini diibingkan. Banyak penonton yang terbawa gairah dan semangat yang seolah menghambur dari si penari, mengajak penonton yang peduli untuk ikut merasakan debur semangat yang menggelora di dada. Namun tak jarang yang tercekam olehnya. Para pengamat tari bahkan heran, bagaimana mungkin penduduk desa di wilayah Cirebon yang hidup sederhana, lebih banyak menghabiskan waktu untuk memastikan besok bisa menyintas segala persoalan, bisa menciptakan tarian sesakral dan semisterius itu. Namun kemudian mereka tahu, penduduk desa-desa di Cirebon itu hanyalah pewaris yang menjalankan Tari Topeng Cirebon sebagai warisan, bukan sebagai ciptaan. Konon, tari itu tercipta di zaman berdirinya Kerajaan Majapahit. Pada masa itu Cirebon adalah pusat penyebaran agama Islam oleh Sunan Gunung Jati dan Sunan Kalijaga. Selain wayang, keduanya menggunakan Tari Topeng Cirebon sebagai salah satu media penyebaran agama Islam. Dengan konsep kesenian, Islam pun dapat disebar sesuai visi dan misi kedua wali itu. Tari Topeng Cirebon disebut-sebut populer di zaman Majapahit, yakni antara 1.300- 1.400 M.  Keberadaan itu membuat banyak kalangan mengaitkan Tari Topeng Cirebon  dengan kepercayaan Hindu-Buddha-Kejawen, yang hidup pada zaman itu. Setelah jatuhnya Majapahit (1525), tarian itu digunakan sebagai wahana penyebaran Islam para Sunan di Jawa.  Karena tari itu erat hubungannya dengan konsep kekuasaan Jawa, saat itu hanya rajalah yang bisa membawakan tarian tersebut. Belakangan, sesuai semangat egalitarian Islam yang memandang semua manusia sama sederajat, siapa pun bisa menarikannya. Itu pula yang kemudian membuat tak hanya seni Topeng Cirebon yang dikenal luas, tetapi juga penerimaan Islam di kalangan warga setempat. Ada banyak jenis tari Topeng Cirebon. Beberapa di antaranya adalah: -Tari Topeng Panji, yakni tarian yang merepresentasikan sosok manusia yang baru lahir, penuh kesucian. Dengan begitu gerakannya sangat halus dan lembut. Tarian ini dianggap merupakan gabungan dari hakikat gerak dan diam, yang terkandung sebagai filosofi Tari Topeng Cirebon. -Tari Topeng Samba, yakni tarian yang merepresentasikan fase perkembangan manusia saat memasuki dunia kanak-kanak, yang digambarkan dengan gerakan yang lincah, luwes, dan lucu. -Tari Topeng Rumyang, yakni tarian yang merepresentasikan fase kehidupan manusia saat memasuki usia remaja atau akil balig. -Tari Topeng Tumenggung, yakni tarian yang merepresentasikan kedewasaan seorang manusia yang penuh dengan kebijaksanaan. Ia juga representasi sosok prajurit yang tegas, penuh dedikasi, kesetiaan, dan jiwa kepahlawanan. -Tari Topeng Kelana atau Rahwana, yakni merupakan representasi visualisasi watak manusia yang serakah, penuh dengan amarah dan ambisius. Sifat-sifat inilah yang merupakan sisi gelap manusia dan biasa ada di dalam diri manusia. Karena itu pada tari ini semua digambarkan dengan gerakan tegas, keras, ambisius, dan penuh ambisi duniawi. Pada masa penjajahan Belanda, masyarakat Cirebon menggunakan tari tersebut sebagai aktivitas seni sekaligus hiburan. Para penari dan penabuh gamelan keraton harus mencari sumber hidup sebagai petani, sehingga Tari Topeng Cirebon  dijadikan media hiburan. Dari sinilah kemudian terjadi transformasi yang memunculkan tarian tipe Losari, Selangit, Kreo, Palimanan dan lain-lain. Sebelum tarian digelar, biasanya dilakukan saji-sajian. Sajian itu biasanya memasukkan unsur-unsur seperti bedak, sisir, dan cermin, sebagai lambang perempuan, serta cerutu atau rokok yang dianggap sebagai perlambang laki-laki. Sementara itu, bubur merah dan bubur putih masing-masing melambangkan dunia manusia dan ‘Dunia Atas’. Cobek batu yang kasar merupakan lambang laki-laki, sedangkan ulekan kayu merupakan lambang perempuan. Buah pisang juga menjadi lambang laki-laki, sedangkan buah jambu dijadikan lambang perempuan. Air kopi yang juga berada di sajian, menjadi lambang ‘Dunia Bawah’, sementara air putih menjadi lambang ‘Dunia Atas’. Di tengah keduanya, air teh menjadi lambang ‘Dunia Tengah’, tempat hidup makhluk, termasuk manusia. Seluruh sesajian ini merupakan lambang keanekaragaman yang ditunggalkan, alias Bhinneka Tunggal Ika. [  ]

You Might Also Like

0 Comments